Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

TEROR GUNUNG CIREMAI - AYU 3

TEROR GUNUNG CIREMAI - AYU 3

Sesosok bayangan gelap tersembunyi di balik kabut. Tangannya yang keriput menyeruak menggapaiku. Buku-buku jarinya yang kasar terasa dingin kala menggores pipiku. Kucoba berteriak, tapi suaraku tercekat. Di sekelilingku kabut kelabu berputar-putar, sementara di atas sana bulan purnama sehitam jelaga. Jemari keriput itu tiba-tiba mencekikku dan menghempaskan dengan kasar tubuhku ke jurang. Aku berteriak sejadi-jadinya.

"Hei! Bangun!"

Sambil terbatuk-batuk aku membuka mata dengan panik, tenggorokanku kering. Dengan sigap Adi menyodorkan sebotol air mineral yang langsung kutenggak habis. Jantungku masih berderap kencang. Mimpi barusan sungguh terasa nyata.

"Tidur teriak-teriak gitu," ucap Adi pelan, masih terlihat sisa rona khawatir di wajahnya. Aku hanya tersenyum kecut, belum mampu bersuara, bahkan jari tanganku masih gemetar. Beberapa orang mulai mendekat menanyakan yang terjadi.

"Cuma mimpi, Mas," Adi menjelaskan. Mereka mengangguk-angguk mengerti. Beberapa wajah kukenali karena sempat bertemu di puncak kemarin.

"Diminumin, Mas," ucap seseorang dengan logat Jawa yang kental.

"Sudah," Adi menjawab sambil menunjukkan botol air mineral yang kosong di tanganku. Satu per satu mereka bubar, mungkin kecewa karena gagal mendapat tontonan gratis.

Angin semilir yang turun dari puncak seakan meninabobokan, membuatku kembali menguap. Ditambah setiap persendianku terasa lemas, membuat semakin malas bergerak.

"Gua tidur lumayan lama, ya?" Tanyaku.

"Lama banget bukan lumayan lama. Mana nyenyak banget sampe nggak tega gua banguninnya," jawab Adi sambil memasukkan botol air mineral kosong tadi ke dalam ranselnya, "ayo siap-siap."

"Siap-siap apa?"

"Ya turun. Udah sore ini, Neng."

Sekarang baru aku terbangun sepenuhnya. Matahari sudah di sepertiga langit, cahayanya yang kuning memancar ramah. Dengan malas aku bangkit dan meregangkan tubuh yang terasa kaku sambil memandangi jalur yang akan kami lalui untuk turun.

"Besok pagi aja turunnya, Mas. Kalo sekarang udah kesorean," saran seseorang pada Adi.

"Maunya begitu, tapi kita harus ngejar bis masalahnya, Mas. Besok sudah harus kerja lagi," jawab Adi.

"Yo wis, hati-hati. Senter disiapkan, mas dan mbaknya pasti bakal kemaleman," orang itu dengan ramah mengingatkan.

Kami langsung turun setelah berpamitan. Aku berjalan dengan malas, berkali-kali kakiku tersandung batu atau akar yang menembus tanah dan berkali-kali juga Adi mengingatkanku untuk berhati-hati.

"Tumben lu banyak diemnya," suara Adi terdengar di balik punggungku.

"Lemess..," aku menjawab dengan lemah, "istirahat sebentar ya."

Tanpa menunggu jawaban Adi aku langsung menjatuhkan pantatku ke tanah. Perutku terasa keram, dan nyeri mulai terasa di ulu hati. Adi tak berkomentar apa pun, dia beristirahat dengan tetap berdiri di belakangku. Dari bawah terdengar suara langkah mendekat. Serombongan pendaki dengan wajah-wajah lelah muncul dengan langkah terseret. Adi mencolek bahuku, memberi isyarat padaku untuk memberi jalan pada mereka. Dengan enggan kugeser pantatku dan mempersilahkan mereka naik.

"Permisi. Maaf," sapa mereka satu per satu sambil naik melewati kami. Adi menyemangati mereka, sedang aku lebih suka membuang muka, rasanya aku sudah tak lagi punya energi untuk sekedar beramah-tamah.

Baru saja hendak berdiri, rombongan lain muncul di bawahku. Melihat dari wajah-wajahnya, kutaksir rata-rata mereka sudah berusia di atas lima puluh. Dengan malas lagi-lagi aku harus memberi jalan. Adi hanya cengengesan melihat wajahku yang ditekuk.

"Hebat, ya. Sudah umur segitu masih kuat naik," Adi berdecak kagum setelah rombongan itu lewat. Aku tak menanggapinya sama sekali.

"Udah nih, ga ada yang mau naik lagi?" omelku pelan.

"Lu kenapa sih?"

"Ya, cape aja lah! Baru juga mau gerak malah harus ngalah. Enak kayaknya kalo ngga ada yang naik lagi. Wuss, langsung turun nggak ada yang ganggu," aku ngomel panjang lebar.

"Ayo jalan. Keburu nanti ada yang mau naik lagi."

Semakin ke bawah jalur yang kami lalui mulai sulit. Lorong sempit berlantai batuan lepas, pohon-pohon tumbang dan rekahan tanah yang bisa membuat kaki patah bagi yang tak berhati-hati. Tubuhku banjir keringat dan rasa 'penuh' di bagian bawahku kian membuatku tak nyaman.

Batuan besar berganti menjadi batu-batu kecil, lalu perlahan dan pasti batu-batuan semakin jarang, digantikan tanah lembab. Jalur yang kami lalui nyaris tertutup belukar. Tanpa disadari kami sudah melewati pintu rimba. Pohon- pohon kurus berlumut mengurung kami di segala penjuru. Hutan sedemikian hening, yang terdengar hanya langkah kaki dan dengus nafas kami yang semakin berat.

"Siapa yang bikin jalur ini ya? Ngga ngotak banget milih jalur," tanyaku.

Terdengar tarikan berat nafas Adi di belakangku, "bukan orang yang bikin ini jalur, Yu."

"Terus? Setan?"

"Air," Adi menjawab cepat, "Ini jalur air, makanya dilarang buka tenda di Sanggabuana karena rawan air bah."

Aku mengangguk-angguk, entah dia cuma asal ngomong atau tidak tapi rasanya memang masuk akal. Air pastinya akan mencari jalan termudah, makanya di beberapa titik kami harus bergelantungan pada akar saking curamnya.

Keram di perutku mulai terasa lagi membuat konsentrasiku buyar. Beberapa kali aku terpaksa terpeleset karena tak memperhatikan pijakan. Telapak kakiku juga mulai nyeri. Berkali-kali aku minta berhenti hanya dijawab singkat: nanti.

"Nanti-nanti mulu! Kapan?? Nanti di Jakarta!" Emosiku sudah tak tertahan lagi.

"Tanggung, nanti aja di depan."

"Gua udah ngga kuat, tau ngga! Dimana??"

Adi menjawab pelan.

"Batu Lingga." 
Catatan
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar