Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

TEROR GUNUNG CIREMAI - AYU 1

Aku terbangun karena kaget saat angin seakan hendak menerbangkan tenda yang kutiduri. Inilah yang kukhawatirkan saat mendirikan tenda tepat di bibir kawah, selalu ada kemungkinan angin berhimpun di sisi lembah lalu dengan kekuatan penuh naik ke atas siap menjungkirbalikkan apa pun di atasnya. Deru jantungku kembali mereda seiring angin yang berlalu, namun kekhawatiran baru timbul. Dengan takut kuraba bagian bawah tubuhku yang masih diselimuti kantong tidur. Benar saja, aku haid.

Jam tanganku menunjukkan angka lima, shubuh baru saja berlalu. Dengan hanya diterangi lampu kepala kuobrak-abrik isi tasku mencari pembalut yang entah kuletakkan dimana. Kesibukan mendadak itu; membersihkan diri, hingga memasang pembalut menghabiskan setengah jam sendiri. Isi tendaku langsung berantakan tapi tak apa, minimal untuk sementara aku merasa aman dan nyaman.

Udara dingin langsung membekap saat kubuka pintu tenda. Dengan tubuh gemetar dan tangan masuk ke saku jaket aku keluar dan mendapati pemandangan yang hanya disediakan bagi siapa pun yang tidur di puncak gunung: langit yang perlahan membiru dan lautan samudera awan membentang sejauh mata memandang. Pemandangan seperti inilah yang membuatku selalu ingin kembali dan kembali. Perlahan dengan mata terpejam kuhirup udara murni yang langsung memenuhi paru-paruku. Asap putih tipis keluar dari mulut dan hidungku tiap kali kuhembuskan nafas. Sebuah kerucut hitam menyembul di kejauhan diantara lautan awan, pastinya itu puncak Gunung Slamet. Kami pernah duduk di puncak itu di waktu yang sama setahun yang lalu. Seperti juga tahun lalu, sekarang pun dia melewati pemandangan indah ini dengan bergelung dalam kantong tidur di tenda orang matinya.

Kalo mau tidur dirumah aja, begitu biasanya ejekanku yang cuma dibalas senyum. Mungkin dia memang tak peduli dengan segala tetek bengek naik gunung ini, mungkin dia hanya ingin menjagaku. Jika dihitung denganku saat ini, artinya dia sudah tiga kali mendaki Ciremai; sekali lewat Palutungan, dua kali lewat Linggarjati. Berdasarkan ceritanya, tak sekali pun dari dua pendakian terdahulu bisa dikatakan clean sheet, selalu saja ada 'sesuatu' yang merusak perjalanan. Semoga kali ini bersamaku kita selamat hingga pulang kembali ke Jakarta ya, Di..

***

Jam tujuh pagi kami sudah selesai membongkar tenda dan memasukkannya dengan rapih di ransel, kami kemudian duduk-duduk sambil menghirup aroma kopi yang baru saja dimasak. Tempat kami mendirikan tenda sesungguhnya adalah setapak kecil yang mengelilingi kawah Gunung Ciremai sekaligus jalur utama pendaki yang hendak lintas, karena itulah kami buru-buru rapih-rapih. Namun sejak tadi belum ada satu pun pendaki yang lewat, bahkan sejak malam tadi hanya tenda kami satu-satunya yang berdiri disini.

Dengan punggung menyender di batuan dinding kawah dan samudera awan di bawah kaki serta angin semilir yang membelai wajah rasanya tak ingin lagi kami kembali ke rumah. Di atas sini tak ada apa pun selain kedamaian.

"Di, gimana kalo kita lagi enak nyender begini tau-tau Ciremai meletus?" tanyaku iseng.

"Ngaco. Jangan sembarangan ngomong ah kalo lagi di tempat orang," Adi menjawab sambil menghembuskan asap rokok yang baru dia bakar, "lagian nih, ada cerita dari orang-orang dulu. Konon, Sunan Gunung Jati pernah berdoa supaya Gunung Ciremai menunda letusannya sampai akhir zaman biar anak cucunya tidak menderita."

"Apa iya?" tanyaku tak yakin.

"Makanya naik gunung jangan cuma sekedar naik gunung. Sempetin ngobrol sama penduduk sekitar. Satu, wawasan kita bertambah. Dua, bersopan santun dengan tuan rumah itu harus."

Aku mengangguk, lebih supaya dia tak ceramah panjang lebar dari pada setuju. Sesungguhnya aku pun mengiyakan, hanya saja waktu cuti yang terbatas rasanya tak akan cukup untuk bersosialisasi dengan penduduk kaki gunung. Buatku sekarang, naik sampe puncak dan pulang dengan selamat rasanya sudah cukup.

Tapi Adi memang berbeda, dia tipe orang yang selalu haus akan informasi. Dia mampu mengingat dengan detail setiap perjalanan yang pernah dilakukan. Dia hapal ongkos angkot atau bis juga tempat turun naiknya, dia menuliskan nama orang yang ditemuinya di buku kecil yang selalu dia bawa kemana saja. Aku pernah bertanya kenapa dia menuliskan catatan kurang penting seperti itu. Jawabnya dengan dituliskan dia lebih mudah untuk mengingatnya. Karena nada paling indah di dunia adalah jika orang yang cuma sekali ditemui ternyata masih ingat namanya, katanya lagi.

Di depan kami seekor elang Jawa terbang menumpang angin, nyaris tak mengepakkan sayapnya. Dengan anggun burung perkasa itu menjauh lalu melesat dengan cepat kebawah, mungkin sudah menemukan sarapan paginya. Burung itu mengingatkanku bahwa kami pun belum sarapan.

"Kenapa harus di Pengasinan sih makannya, bukan di sini aja?" tanyaku, karena kami pernah membahas ini tadi malam.

"Biar kayak Wali songo, hahaha, " tampaknya dia juga geli dengan idenya sendiri, "Pengasinan itu tempat Wali Songo makan terakhir sebelum ke puncak."

Memang aku pernah mendengar kisah perjalanan Wali Songo mendaki Gunung Ciremai hanya saja aku tak pernah mendengar mereka lewat jalur mana, istirahat dimana, buka tenda dimana.

"Mereka makan apa?" tanyaku lagi.

"Nasi dan garam." Adi menjawab dengan cepat.

Masuk akal sih. Andai dia jawab mereka makan nasi rendang pasti langsung kutendang pantatnya biar sekalian masuk jurang.

"Ayolah, berangkat ke Pengasinan." 

Catatan
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar